Film ini bercerita mengenai bagaimana krisis ekonomi global
di tahun 2008 dapat terjadi. Film ini mengawali topik utamanya, yaitu krisis
global, dengan kasus yang serupa yang terjadi di iceland, Kasus ini dimulai
dari pemerintah Iceland yang melakukan deregulasi pada kebijakan ekonominya.
Salah satu kebijakannya adalah memprivatisasi 3 bank terbesar disana. Bank
tersebut kemudian meminjam 120 million dollars, wepuluh kali lipat GDP negara
tersebut. Pinjaman tersebut merupakan pinjaman yang ditujukan oleh seorang
jutawan kaya yang memiliki usaha dibidang properti. setelah harga properti
meningkat lebih dari dua kali lipat dan harga saham perusahaannya meningkat 9
kali lipat, perekonomian Iceland akhirnya hancur karena gagal bayar hutang dan
economic bubble yang tidak terkendali. Kasus ini emrupakan kasus yang tepat
yang merepresentasikan apa yang sedang terjadi pada perekonomian dunia di tahun
2008.
Selama 40 tahun sejak great depression di US, US belum
pernah sekalipun mengalami krisis. Hal ini disebabkan oleh karena institusi
keuangan yang diatur ketat oleh regulasi. Bank atau institusi keuangan lainnya
dilarang untuk terlibat dalam transaksi yang spekulatif. Contohnya, konsep
investment banking di era 70-an. Setiap partner menanamnkan uangnya dalam
jumlah besar dan mereka sangat konservatif dan berhati-hati untuk menginvestasikan
uangnya. Namun hal tersebut berubah sejak adanya deregulasi di sektor keuangan
yang menyebabkan banyak institusi keuangan yang go public sehingga investment
banking mengelola banyak dana dari masyarakat. Hal ini menjadi moral hazard
bagi investment bank agar masuk ke transaksi yang spekulatif. Deregulasi ini
diduga terjadi karena pengangkatan Donald Reagan, CEO dari Merryl Linch,
Investment Bank terkemuka saat itu, menjadi treasury secretary.
Salah satu deregulasi sektor keuangan adalah memperbolehkan
bank untuk mengelola dana nasabahnya di transaksi yang beresiko. Deregulasi
sektor keuangan dilanjutkan oleh Alan Greenspan, seorang akademisi terkemuka di
bidang ekonomi yang pernah terlibat kasus penyalahgunaan uang nasabah yang
sempat membuat rugi negara sekitar 127 juta dollar, Robert Rubin yang menjabat
sebagai treasury secretaries yang merupakan CEO dari investment bank “Goldman
Sachs”, dan Larry Summers, seorang profesor ekonomi dari Harvard. Dari latar
belakang orang-orang ini dapat kita lihat bahwa adanya kemungkinan
kepentingan-kepentingan khusus masuk ke peraturan-peraturan di sektor keuangan.
Pada akhir tahun 1990, sektor keuangan dibagi-bagi perannya
menjadi beberapa perusahaan raksasa yang dimana jika salah satu dari mereka
mengalami kesulitan keuangan, maka ekonomi secara keseluruhan akan ikut
kesulitan. Bahkan, hal ini diperburuk dengan adanya merger antara citicorp dan
traveler yang diprakarsai oleh treasury administration di tahun 1998. Merger
tersebut memungkinkan institusi keuangan tersebut menaruh dana nasabahnya ke
sebuah investasi beresiko, dimana hal ini sebenarnya melanggar hukum yang telah
dibuat setelah great deprresion, yaitu “Glass-Steagal Act”. Namun, hal ini dilegalkan
dengan meloloskan “Gramm-Leach-Billey Act” sebagai pengganti “Glass-Steagal
Act”.
Bank-bank yang sangat besar ini dapat menghimpun dana
nasabah yang sangat banyak, sehingga memungkinkan mereka untuk menggerakan
pasar modal & keuangan sesuai dengan keinginan mereka. selain itu mereka
tidak khawatir jika mengalami kesulitan keuangan karena semakin besar suatu
bank, maka semakin besar kemungkinan mereka untuk ditolong pemerintah jika
kesulitan keuangan.
Sejak deregulasi di sektor keuangan dimulai, banyak kasus
white-collar criminals yang terjadi secara terus menerus. Hal ini diperburuk
dengan dikembangkannya suatu produk finansial rumit yang kita sebut sebagai
derivative. Investment Banks meng klaim bahwa derivatif membuat sektor keuangan
menjadi lebih aman. Namun pada kenyataannya, derivatif membuat pasar menjadi
tidak stabil. Derivatif memungkinkan investment banking “bertaruh” pada apapun
untuk mendapatkan keuntungan yang berlebih. Investment banking menolak adanya
regulasi di pasar berjangka. Penolakan ini dimungkinkan untuk direalisasikan
mengingat banyaknya CEO dari investment banking yang memiliki jabatan penting
di kepemerintahan.
Derivatif mangalami perkembangan pesat, ditandai dengan
munculnya CDO (Colleteral Debt Obligation), yaitu kumpulan dari hutang-hutang
jangka panjang seperti kredit rumah, kredit pendidikan, dan lainnya dan
kemudian dibentuk menjadi instrumen keuangan berjenis “futures”. Dengan adanya
CDO, institusi keuangan mengalami moral hazard dimana mereka bisa saja menerima
kredit-kredit yang sebenarnya besar kemungkinannya bagi peminjam untuk gagal
bayar. Hal ini disebabkan karena resiko gagal bayar tidak lagi berada pada
institusi keuangan, namun pada investor yang membeli CDO tersebut.
CDO merupakan instrumen keuangan yang beresiko tinggi dengan
kemungkinan gagal bayar yang tinggi pula. Namun, para institusi pemberi rating,
seperti standard & poor, memberi rating AAA pada CDO sehingga banyak yang
percaya bahwa CDO merupakan instrumen keuangan yang beresiko kecil. Terlebih
lagi, investment bank lebih suka menjual CDO yang dibentuk dari Subprime
mortgage loan, yaitu pinjaman yang beresiko tinggi yang memiliki kemungkinan
besar gagal bayar, karena memberikan pendapatan bunga yang lebih tinggi.
Subprime loan kebanyakan datang dari kredit pembelian rumah
dimana kredit tersebut memungkinkan orang yang tidak memiliki pekerjaan untuk
melakukan kredit rumah. Kemudahan subprime loans ini akhirnya memicu kenaikan
harga rumah secara tidak wajar, yaitu mencapai 194% di akhir tahun 2007, karena
semua orang bisa membeli rumah. Meningkatnya pembelian subprime loans
menyebabkan kenaikan profit secara tak wajar pada institusi keuangan dan
institusi terkait lainnya.
Housing bubble diperparah dengan tidak diaturnya kredit
rumah dan kebijakan SEC yang memperbolehkan bank memiliki rasio leverage yang
lebih besar, sehingga memungkinkan investment bank untuk berspekulasi dengan
dana lebih besar lagi. Selain penjualan CDO, ada masalah lain yang dilakukan
oleh institusi keuangan lainnya, yaitu penerbitan credit default swap oleh AIG.
credit default swap adalah semacam produk asuransi untuk CDO yang gagal bayar.
Namun, berbeda dengan asuransi lainnya, spekulan yang bahkan tidak memiliki
rumah sekalipun bisa saja membeli produk asuransi tersebut.
Kekalutan yang diciptakan oleh karena pengembangan instrumen
keuangan ini disetujui oleh Rajan melalui papernya yang berjudul “Has Financial
Development Made the World Riskier?”. Rajan berargumen bahwa pemberian bonus
bedasarkan profit jangka pendek tanpa tindak lanjut dari kerugian yang mungkin
menyertainya dikemudian hari turut andil dalam kebangkrutan bank-bank yang
dapat memicu krisis global secara keseluruhan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar