Sabtu, 16 Oktober 2010

Kasus Bank Century dan tata kelola Perusahaan


Pemegang saham Bank Century yang sebelumnya hampir dinyatakan bangkrut menghadapi masalah yaitu nilai saham yang mereka miliki dianggap hangus karena asset mereka yang menunjukan angka minus dan kemudian dilakukan Bail-out dalam jumlah oleh Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) sehingga kepemilikan saham publik dianggap tidak signifikan.  Keputusan sepihak LPS ini menentang OECD principle mengenai  “The Rights of Shareholders andKey Ownership Functions”,  pada poin B, yaitu :

“Shareholders should have the right to participate in, and to be sufficiently informed on, decisions concerning fundamental corporate changes such as: 1) amendments to the statutes, or articles of incorporation or similar governing documents of the company; 2) the authorisation of additional shares; and 3) extraordinary transactions, including the transfer of all or substantially all assets, that in effect result in the sale of the company.”

Dari paragraf tersebut dapat kita simpulkan bahwa seharusnya para pemegang saham Bank Century tetap memiliki hak milik. Terlebih lagi, para pemegang saham seharusnya bisa berpartisipasi dan turut menentukan adanya tambahan modal dari LPS dan transaksi yang luar biasa yaitu penambahan modal dalam jumlah besar dari LPS.

Pada Poin E, bahkan lebih ditekankan lagi bahwa pemegang saham seharusnya memiliki hak untuk mengetahui dan terlibat atas segala penggabungan usaha, penjualan aset-aset perusahaan secara substansial, dan akuisisi, seperti yang dilakukan oleh LPS. berikut paragrafnya :

“The rules and procedures governing the acquisition of corporate control in the capital markets, and extraordinary transactions such as mergers, and sales of substantial portions of corporate assets, should be clearly articulated and disclosed so that investors understand their rights and recourse. Transactions
should occur at transparent prices and under fair conditions that protect the rights of all shareholders according to their class.”

Perlindungan pemegang saham yang rendah pada Bank Century salah satunya diakibatkan oleh struktur bank itu sendiri yang berbentuk piramid. Bentuk kepemilikan seperti ini membuat proporsi kepemilikan pemegang saham publik menjadi kecil. Selain itu, sering terjadi Agency Problem antara kepentingan pemegang saham minoritas (dalam hal ini pemegang saham publik) dengan kepentingan pemegang saham mayoritas (dalam hal ini pihak keluarga atau institusi tertentu seperti LPS). Konflik kepentingan ini akan berujung kepada pihak mayoritas yang memiliki klaim atas keuntungan dan kontrol perusahaan yang membesar, lebih besar daripada yang seharusnya. Hal ini semakin menjepit posisi pemegang saham publik selaku pihak minoritas, sehingga tidak mengherankan jika perlindungan atas pemegang saham publik sangatlah rendah.

Hal ini membuat investor menilai sahamnya dengan harga yang sangat rendah. Hal ini terbukti dari harga saham Bank Century sejak IPO sampai sekarang hanya berkisar antara Rp.1 – 100. Saham dengan harga seperti ini disebut juga penny stock atau di Indonesia terkenal dengan istilah saham gorengan. Istilah tersebut juga menggambarkan bahwa saham tersebut tidak dipercaya oleh investor dan hanya dibeli dengan tujuan spekulasi.

Hal lain yang menjadi perhatian dalam perusahaan dengan struktur kepemilikan berbentuk piramid adalah adanya konsentrasi kekuatan kepemilikan. Selain itu, perusahaan dengan struktur kepemilikan seperti ini cenderung diminati oleh politisi korup. Morck dan Yeung (2003) menemukan bahwa perusahaan dengan struktur kepemilikan piramid memungkinkan adanya aliran uang keluar masuk tanpa diketahui pihak lainnya yang disebut sebagai “tunneling”. Perusahaan dengan struktur piramid biasanya dimiliki oleh satu keluarga yang sangat kaya dan beberapa perusahaan penting di negara tersebut. Dengan menjalin hubungan dengan pihak-pihak tertentu yang memiliki perusahaan ini, seorang politisi mendapatkan sumber dana untuk kepentingannya dirinya sendiri.

Tidak ada komentar: