Rabu, 01 April 2009

Agama sebagai pembentuk akhlak

Pertama-tama,mari kita mengetahui dulu apa definisi dari akhlak. Akhlak ialah semua tingkah laku dan gerak-gerik makhluk dan yang dimaksud makhluk di sini (telah dipersempit) ialah manusia (hanya menyangkut tingkah laku manusia saja).sumber-sumber akhlak pun ada 4. yaitu 1. Al-Wiratsiyyah (Genetik) : Misalnya: seseorang yang berasal dari daerah Sumatera Utara cenderung berbicara “keras”, tetapi hal ini bukan melegitimasi seorang muslim untuk berbicara keras atau kasar karena Islam dapat memperhalus dan memperbaikinya.2. An-Nafsiyyah (Psikologis) : Faktor ini berasal dari nilai-nilai yang ditanamkan oleh keluarga (misalnya ibu dan ayah) tempat seseorang tumbuh dan berkembang sejak lahir. Semua anak dilahirkan dalam keadaan fitrah, orangtuanyalah yang menjadikannya Yahudi, Nasrani atau Majusi (Hadits). 3. Syari’ah Ijtima’iyyah (Sosial) : Faktor lingkungan tempat seseorang mengaktualisasikan nilai-nilai yang ada pada dirinya berpengaruh pula dalam pembentukan akhlak seseorang. 4. Al-Qiyam (Nilai Islami) Nilai Islami akan membentuk akhlak Islami.Akhlak Islami ialah seperangkat tindakan/gaya hidup yang terpuji yang merupakan refleksi nilai-nilai Islam yang diyakini dengan motivasi semata-mata mencari keridhaan Allah.

Dari point-point tadi bias kita lihat,bahwa agama adalah salah satu factor pembentuk akhlak yang baik. Pengenalan agama yang baik sejak dini akan membentuk akhlak yang baik sejak kecil. Akhlak yang benar akan terbentuk bila sumbernya benar. Sumber akhlak bagi seorang muslim adalah al-Qur’an dan as-Sunnah. Sehingga ukuran baik atau buruk, patut atau tidak secara utuh diukur dengan al-Qur’an dan as-Sunnah. Sedangkan tradisi merupakan pelengkap selama hal itu tidak bertentangan dengan apa yang telah digariskan oleh Allah dan Rasul-Nya. Menjadikan al-Qur’an dan as-Sunnah sebagai sumber akhlak merupakan suatu kewajaran bahkan keharusan. Sebab keduanya berasal dari Allah dan oleh-Nya manusia diciptakan. Pasti ada kesesuaian antara manusia sebagai makhluk dengan sistem norma yang datang dari Allah SWT.

Maka itulah, dari penjelasan saya di atas,sangat erat hubungannya antara agama dengan pembentukan akhlak. Menurut saya, pembentukan akhlak yang paling baik dilakukan sejak dini.sebab, anak-anak memiliki sifat seperti spons yang menyerap segala kejadian di lingkungannya.

FENOMENA RITUAL MISTIS DAN KAITANNYA DENGAN AKIDAH ISLAM

Akhir-akhir ini marak sekali bermunculan aliran-aliran yang sifatnya sesat dan menyesatkan. Terjadinya penyimpangan ini sudah barang tentu dipelopori oleh orang-orang yang mengaku telah mendapatkan bisikan gaib, atau semacam wahyu, yang diyakininya dari malaikat Jibril, atau sumber-sumber lain yang sifatnya tak kasat mata. Fenomena inilah yang kemudian diklaim sebagai bentuk pengangkatan atau pentasbihan orang-orang terkait sebagai nabi, ruhul kudus, atau titisan dari tokoh-tokoh tertentu semacam Bung Karno. Tanpa keimanan, ilmu yang memadai, serta tanpa saringan informasin yang benar, maka orang-orang murtad itu akan dengan mudah menyeret banyak menjadi korban kemurtadan mereka. Orang-orang seperti ini selalu mengaku benar menurut dirinya sendiri tanpa berpikir akibatnya, atau kurangnya berpedoman pada hukum serta ajaran agama. Imam Ibnu Atho Illah berkata, “Orang yang paling patut dijauhi adalah mereka yang mengaku dirinya ulama, ahli kitab, ahli dakwah, ahli hukum dan mengaku sebagai pengayom umat, namun ilmu dan pemahaman Islamnya selalu memakai khayali (logika semata), dan bukan berpegang pada hukum kitabullah, maka orang seperti itu lebih sangat ditakutkan daripada Dajjal” . belum lagi akhir-akhir ini marak metode pengobatan dengan media batu,seperti yang dilakukan oleh ponari dan beberapa penirunya. Yang lebih mengherankan adalah jumlah pasien yang dating sangat banyak, mereka berharap mendapatkan kesembuhan dari air batu tersebut. Sungguh mengejutkan. Tentu saja ini menyimpang dari akidah islam.

Akidah, yang secara bahasa adalah ikatan, sementara akidah dalam istilah adalah keyakinan hati dan pembenarannya terhadap sesuatu. Dan dalam pengertian agama adalah kandungan rukun iman. Tetapi apa yang terjadi pada masyarakat Indonesia saat ini sudah melenceng dari akidah islam. Seperti yang terjadi di jombang,praktik penyembuhan dengan media batu oleh ponari,yang langsung di tanggapi dengan cepat oleh MUI daerah setempat yang langsung mendatangi kerumunan massa yang sedang mengantri untuk berobat dan menceramahi mereka dan mengatakan bahwa pengobatan seperti ini merupakan tindakan yang syirik. Tetapi tanggapan berbeda dikeluarkan oleh MUI daerah lainnya yang mengatakan, kalau kita percaya bahwa metode penyembuhan dengan batu seperti itu merupakan media penyembuhan yang datangnya dari allah, maka itu bukan syirik. Tetapi hal ini justru akan mengaburkan pandangan masyarakat akan definisi syirik,dan bias berkembang menjadi syirik yang terselubung,dimana kita melakukan hal yang sifatnya syirik,tetapi kita tidak menyadarinya. Dan sudah jelas ini sangat bertentangan dengan akidah islam.

Menurut saya, penanaman pendidikan agama islam yang murni,(tak dilebih-lebihkan dengan tujuan menakut-nakuti, dan tak dikurang-kurangi) sejak kecil akan membentuk keyakinan mereka akan islam dan membentuk akidah mereka sejak kecil, sehingga mereka bisa terhindar dari hal-hal yang sifatnya syirik.

Macam-Macam Tafsir Al Quran

Sumber: wikipedia.com

Tafsir berasal dari kata al-fusru yang mempunyai arti al-ibanah wa al-kasyf (menjelaskan dan menyingkap sesuatu). Menurut pengertian terminologi, seperti dinukil oleh Al-Hafizh As-Suyuthi dari Al-Imam Az-Zarkasyi ialah ilmu untuk memahami kitab Allah SWT yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW, menjelaskan makna-maknanya, menyimpulkan hikmah dan hukum-hukumnya.

Sejarah Tafsir Al-Qur'an
Sejarah ini diawali dengan masa Rasulullah SAW masih hidup seringkali timbul beberapa perbedaan pemahaman tentang makna sebuah ayat. Untuk itu mereka dapat langsung menanyakan pada Rasulullah SAW. Secara garis besar ada tiga sumber utama yang dirujuk oleh para sahabat dalam menafsirkan Al-Qur'an :
1. Al-Qur'an itu sendiri karena terkadang satu hal yang dijelaskan secara global di satu tempat dijelaskan secara lebih terperinci di ayat lain.
2. Rasulullah SAW semasa masih hidup para sahabat dapat bertanya langsung pada Beliau SAW tentang makna suatu ayat yang tidak mereka pahami atau mereka berselisih paham tentangnya.
3. Ijtihad dan Pemahaman mereka sendiri karena mereka adalah orang-orang Arab asli yang sangat memahami makna perkataan dan mengetahui aspek kebahasaannya. Tafsir yang berasal dari para sahabat ini dinilai mempunyai nilai tersendiri menurut jumhur ulama karena disandarkan pada Rasulullah SAW terutama pada masalah azbabun nuzul. Sedangkan pada hal yang dapat dimasuki ra’y maka statusnya terhenti pada sahabat itu sendiri selama tidak disandarkan pada Rasulullah SAW.

Bentuk-bentuk Tafsir Al-Qur'an
Tafsir bi al-Matsur
Dinamai dengan nama ini (dari kata atsar yang berarti sunnah, hadits, jejak, peninggalan) karena dalam melakukan penafsiran seorang mufassir menelusuri jejak atau peninggalan masa lalu dari generasi sebelumnya terus sampai kepada Nabi SAW. Tafsir bi al-Matsur adalah tafsir yang berdasarkan pada kutipan-kutipan yang shahih yaitu menafsirkan Al-Qur'an dengan Al-Qur'an, Al-Qur'an dengan sunnah karena ia berfungsi sebagai penjelas Kitabullah, dengan perkataan sahabat karena merekalah yang dianggap paling mengetahui Kitabullah, atau dengan perkataan tokoh-tokoh besar tabi’in karena mereka pada umumnya menerimanya dari para sahabat.
Contoh tafsir Al Qur'an dengan Al Qur'an antara lain:
“wa kuluu wasyrobuu hattaa yatabayyana lakumul khaithul abyadhu minal khaithil aswadi minal fajri....” (Surat Al Baqarah:187)
Kata minal fajri adalah tafsir bagi apa yang dikehendaki dari kalimat al khaitil abyadhi.
Contoh Tafsir Al Qur'an dengan Sunnah antara lain:
“alladziina amanuu wa lam yalbisuu iimaanahum bizhulmin....” (Surat Al An'am: 82)
Rasulullah s.a.w.menafsirkan dengan mengacu pada ayat :
“innasy syirka lazhulmun 'azhiim” (Surat Luqman: 13)
Dengan itu Beliau menafsirkan makna zhalim dengan syirik.


Tafsir bi ar-Rayi
Seiring perkembangan zaman yang menuntut pengembangan metode tafsir karena tumbuhnya ilmu pengetahuan pada masa Daulah Abbasiyah maka tafsir ini memperbesar peranan ijtihad dibandingkan dengan penggunaan tafsir bi al-Matsur. Dengan bantuan ilmu-ilmu bahasa Arab, ilmu qiraah, ilmu-ilmu Al-Qur'an, hadits dan ilmu hadits, ushul fikih dan ilmu-ilmu lain seorang mufassir akan menggunakan kemampuan ijtihadnya untuk menerangkan maksud ayat dan mengembangkannya dengan bantuan perkembangan ilmu-ilmu pengetahuan yang ada.
Contoh Tafsir bir ra'yi dalam Tafsir Jalalain:
“khalaqal insaana min 'alaq” (Surat Al Alaq: 2)
Kata alaq disini diberi makna dengan bentuk jamak dari lafaz alaqah yang berarti segumpal darah yang kental.
Tafsir Isyari
Menurut kaum sufi, setiap ayat mempunyai makna yang zahir dan batin. Yang zahir adalah yang segera mudah dipahami oleh akal pikiran sedangkan yang batin adalah yang isyarat-isyarat yang tersembunyi dibalik itu yang hanya dapat diketahui oleh ahlinya. Isyarat-isyarat kudus yang terdapat di balik ungkapan-ungkapan Al-Qur'an inilah yang akan tercurah ke dalam hati dari limpahan gaib pengetahuan yang dibawa ayat-ayat. Itulah yang biasa disebut tafsir Isyari.
Contoh bentuk penafsiran secara Isyari antara lain adalah pada ayat:
'“.......Innallaha ya`murukum an tadzbahuu baqarah.....” (Surat Al Baqarah: 67)
Yang mempunyai makna zhahir adalah “......Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyembelih seekor sapi betina...” tetapi dalam tafsir Isyari diberi makna dengan “....Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyembelih nafsu hewaniah...”.
Macam Tafsir Al-Qur'an
Setiap penafsir akan menghasilkan corak tafsir yang berbeda tergantung dari latar belakang ilmu pengetahuan, aliran kalam, mahzab fiqih, kecenderungan sufisme dari mufassir itu sendiri sehingga tafsir yang dihasilkan akan mempunyai berbagai corak. Abdullah Darraz mengatakan dalam an-Naba’ al-Azhim sebagai berikut: Diantara berbagai corak itu antara lain adalah :
• Corak Sastra Bahasa: munculnya corak ini diakibatkan banyaknya orang non-Arab yang memeluk Islam serta akibat kelemahan orang-orang Arab sendiri di bidang sastra sehingga dirasakan perlu untuk menjelaskan kepada mereka tentang keistimewaan dan kedalaman arti kandungan Al-Qur'an di bidang ini.
• Corak Filsafat dan Teologi : corak ini muncul karena adanya penerjemahan kitab-kitab filsafat yang mempengaruhi beberapa pihak serta masuknya penganut agama-agama lain ke dalam Islam yang pada akhirnya menimbulkan pendapat yang dikemukakan dalam tafsir mereka.
• Corak Penafsiran Ilmiah: akibat kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi maka muncul usaha-usaha penafsiran Al-Qur'an sejalan dengan perkembangan ilmu yang terjadi.
• Corak Fikih: akibat perkembangan ilmu fiqih dan terbentuknya madzhab-mahzab fikih maka masing-masing golongan berusaha membuktikan kebenaran pendapatnya berdasarkan penafsiran-penafsiran mereka terhadap ayat-ayat hukum.
• Corak Tasawuf : akibat munculnya gerakan-gerakan sufi maka muncul pula tafsir-tafsir yang dilakukan oleh para sufi yang bercorak tasawuf.
• Corak Sastra Budaya Kemasyarakatan: corak ini dimulai pada masa Syaikh Muhammad Abduh yang menjelaskan petunjuk-petunjuk ayat-ayat Al-Qur'an yang berkaitan langsung dengan kehidupan masyarakat, usaha-usaha untuk menanggulangi masalah-masalah mereka berdasarkan petunjuk ayat-ayat, dengan mengemukakan petunjuk tersebut dalam bahasa yang mudah dimengerti dan enak didengar.
Ketika kita mempelajari pendidikan agama Islam di sekolah kita dulu kita diajarkan tentang “Hablumminallah” dan “Hablumminannaas”. Secara singkat “Hablumminallah” sendiri berarti hubungan manusia dengan penciptanya yang tidak lain adalah Allah SWT sedangkan “Hablumminannas” berarti hubungan manusia dengan sesama manusia lainnya. Namun sebenarnya hal manakah yang harus didahukukan ? “Hablumminnallah” atau “Hablumminannaas” ?
Terdapat beberapa ayat dalam Kitabullah Al Qur’an yang menjelaskan tentang “Hablumminallah” dan “Hablumminannaas” antara lain :
"Mereka diliputi kehinaan di mana saja mereka berada, kecuali jika mereka berpegang kepada tali (agama) Allah dan tali (perjanjian) dengan manusia, dan mereka kembali mendapat kemurkaan dari Allah dan mereka diliputi kerendahan. Yang demikian itu karena mereka kafir kepada ayat-ayat Allah dan membunuh para nabi tanpa alasan yang benar. Yang demikian itu disebabkan mereka durhaka dan melampaui batas."(QS : Ali Imran 112)
Berdasarkan ayat tersebut sangat jelas bahwa kata “Hablumminallah” didahulukan daripada “Hablumminannaas”, ini menunjukan hubungan kepada Allah lebih diutamakan sebelum menjadi hubungan kepada manusia
"Katakanlah: "jika bapak-bapak, anak-anak, saudara-saudara, isteri-isteri, kaum keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatiri kerugiannya, dan tempat tinggal yang kamu sukai, adalah lebih kamu cintai dari Allah dan Rasul-Nya dan dari berjihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan-Nya." Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang fasik"(QS : At- Taubah ayat 24)
Berdasarkan ayat tersebut dijelaskan bahwa urutan cinta adalah Allah, Rasul, Jihad, Bapak, anak, saudara, istri, harta, bisnis dan tempat tinggal. Ini menunjukkan prioritas bahwa kita harus menomorsatukan cinta atau hubungan kepada Allah SWT.
"Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebajikan, akan tetapi sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada Allah, hari kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan) dan orang-orang yang meminta-minta; dan (memerdekakan) hamba sahaya, mendirikan shalat, dan menunaikan zakat; dan orang-orang yang menepati janjinya apabila ia berjanji, dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan dan dalam peperangan. Mereka itulah orang-orang yang benar (imannya); dan mereka itulah orang-orang yang bertakwa"(QS : Al- Baqarah 177)
Pada ayat tersebut juga jelas bahwa Allah harus didahulukan. Baru iman kepada lainnya. Berbuat baik kepada manusia, sholat, sabar dst. Ini menunjukkan bahwa hubungan dengan Allah adalah nomor satu.
Dapat ditarik kesimpulan berdasarkan beberapa ayat – ayat dalam Kitabbullah Al – Quran bahwa hubungan dengan Allah SWT (Hablumminallah) harus didahulukan daripada hubungan dengan sesama manusia (Hablumminannaas). Bahkan ada ayat yang menunjukan urutan kepada siapa manusia harus mencintai. Sebenarnya dalam pengertian “Hablumminallah” ini terlihat jelas bahwa manusia diciptakan oleh Allah SWT hanya untuk mengabdi kepada-Nya dan Allah SWT memerintahkan manusia untuk menyembah hanya kepada-Nya dan beribadah kepada-Nya.
Sebagai manusia pasti banyak mengalami godaan dan gangguan dari syaitan yang terkutuk dalam mempertahankan kualitas “Hablumminallah”. Terdapat beberapa sikap yang dapat dilaksanakan untuk mempertahankan kualitas “Hablumminallah” antara lain :
1. Rela / ridho apapun yang dilimpahkan oleh Allah SWT. InsyaAllah kita mendapat ridho-Nya.
2. Kembali kepada Allah dalam segala hal. Bahwa Allah-lah yang memberikan semuanya, seperti anugerah, Rahmat, kebahagiaan, dsb.
3. Kita senantiasa membutuhkan Allah, membutuhkan ampunan atas segala dosa, membutuhkan ridho-Nya, dan membutuhkan rahmat-Nya.
4. Tempakan hati kembali kepada Allah.
5. Sabar bersama Allah, sabar menghadapi cobaan, dan kenikmatan.
6. Hati ini menuju Allah, bukan menuju surga bukan takut neraka.
7. Istiqomah bersama Allah.
8. Berserah diri kepada Allah.
9. Pasrah total kepada Allah SWT baik jasad, ruh, dan hati.
Dalam agama Islam sebenarnya semua (“Hablumminallah” dan “Hablumminannaas”) harus dijalankan secara seimbang. Jadi ketika kita cinta pada fakir miskin pada saat itulah kita juga cinta kepada Allah dan Rasulullah. Ketika kita menyantuni kaum dhu'afa pada saat itu juga tersambung tali kepada Allah sebagai wujud kita mentaati Allah dan Rasul-Nya. Sehingga segala perbuatan baik kepada sesama manusia, tidak merugikan orang lain, tolong menolong dan kasih sayang memang diperintahkan oleh Allah kepada manusia, artinya hubungan baik kepada sesama manusia itu dalam rangka hubungan baik kepada Allah (dalam rangka melaksanakan perintah Allah). Dengan kata lain “Habluminannaas” dalam rangka “Habluminallah”. Orang yang mengabaikan habluminannas selain mendapatkan murka dari Allah dan konsekuensi di akherat, juga akan menerima konsekuensi dari sesama manusia lainya yaitu berupa perlakuan atau sangsi atau hukuman dari aturan/hukum atau norma masyarakat di mana ia berada. Oleh karena itu memahami agama Islam harus secara komprehensif dan integral (syumul kaafah mutakamil / menyeluruh lengkap dan sempurna).